Foto: Denny Indrayana. Tentang Sumedang
Reporter: Deddy Santosa
Tentang Sumedang - Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana memenuhi panggilan pemeriksaan oleh penyidik Bareskrim polri. Sebelum memasuki ruang pemeriksaan Denny membantah bila program payment gateway di Kemenkum HAM 2014, tersebut menyebabkan kerugian terhadap negara.
Pengacara Denny, Heru Widodo menuturkan, setelah mempelajari dokumen terkait kasus ini termasuk laporan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan pada Desember 2014, tidak ada kerugian negara sebesar Rp 32,4 miliar dalam program sistem pembayaran pembuatan paspor secara elektronik.
"Intinya, dari keseluruhan dokumen yang kami pelajari, uang sebanyak itu (Rp 32,4 miliar) disetorkan ke kas negara, bukan kerugian. Lalu Rp 605 juta yang disebut pungutan tidak sah juga tak benar. Itu biaya transaksi elektronik yang dikeluarkan pemohon paspor, kalau tidak mau itu bisa bayar di loket," kata Heru saat mendampingi kliennya, di Mabes Polri, Jakarta, Jumat (27/9).
Lebih lanjut, Heru juga menepis anggapan bahwa dalam proyek yang bergulir sejak Juli hingga Oktober 2014 lalu itu menguntungkan vendor yaitu PT Nusa Satu Inti Artha dan PT Finnet Indonesia. Menurutnya, setelah dipelajari, dua vendor malah menderita kerugian.
"Nilai investasi dengan biaya masuk ke mereka jauh lebih besar dari nilai investasi yang dikeluarkan," jelasnya.
Sebelumnya diketahui, Penyidik Direktorat Tindak Pidana Korupsi menetapkan mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana sebagai tersangka. Denny diduga kuat menyalahgunakan wewenang dalam program sistem pembayaran pembuatan paspor secara elektronik.
Penyidik mengenakan Pasal 2 ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 23 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 421 KUHP Juncto Pasal 55 ayat (1) ke satu KUHP tentang penyalahgunaan wewenang secara bersama-sama.
Kepala Divisi Humas Polri Brigjen Anton Charliyan mengatakan, Denny berperan untuk menginstruksikan penunjukan dua vendor dalam pelayanan sistem paspor secara elektronik, sekaligus fasilitator untuk mengoperasikan sistem tersebut.
"Satu rekening di buka atas nama dua vendor itu. Uang disetorkan ke sana, baru disetorkan ke bendahara negara. Nah, ini yang menyalahi aturan, harusnya langsung ke bendahara negara," ujar Anton di Mabes Polri beberapa waktu lalu.